Jumat, 05 Januari 2018

Konsep Dasar Perceraian Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Konsep Dasar Perceraian Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Oleh: Gushairi, S.HI, MCL
Cakim Pengadilan Agama
a.     Pengertian Perceraian
Didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak diatur mengenai pengertian perceraian tetapi hal-hal mengenai perceraian telah diatur dalam pasal 113 sampai dengan pasal 148 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dengan melihat isi pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa prosedur bercerai tidak mudah, karena harus memiliki alasan-alasan yang kuat dan alasan-alasan tersebut harus benar-benar menurut hukum. Hal ini ditegaskan dalam pasal 115 Kompilasi Hukum Islam(KHI) yang isinya sebagai berikut :
"Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak."
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 115 seperti yang termaktub diatas maka yang dimaksud dengan perceraian perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah proses pengucapan ikrar talak yang harus dilakukan didepan persidangan dan disaksikan oleh para hakim Pengadilan Agama.
Apabila pengucapan ikrar talak itu dilakukan diluar persidangan, maka talak tersebut merupakan talak liar yang dianggap tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

b.    Alasan-Alasan Perceraian
Untuk dapat mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama harus disertai dengan alasan-alasan yang cukup, sesuai dengan alasan-alasan yang telah ditetapkan dalam undang-undang perkawinan. Adapun hal-hal yang dapat dipakai sebagai alasan untuk mengajukan gugatan perceraian ini diatur dalam pasal 116 ayat a s/d h dan dipertegas lagi dalam pasal 19 PP No.9 tahun 1975, yang pada dasarnya sebagai berikut:
1)     Tentang alasan zina, pemabuk dan penjudi Permohonan cerai atau gugatan cerai yang diajukan para pihak kepada Pengadilan Agama, memiliki berbagai masalah sesuai besar kecilnya atau ada tidaknya alasan perceraian salah satunya alasan yang dikemukakan adalah perceraian karena alasan zina.
Perzinaan disini adalah zina dalam pengertian hukum islam yan spesifik dan mempunyai ciri khusus. Membuktikan perzinaan bukan persolan yang mudah, terlebih dahulu pihak yang dituduh berzina itu membantahnya dengan cara yang sama dan meneguhkannya. Zina merupakansalah satu faktor yang mengakibatkan rusaknya rumah tangga, menghilangkan harkat keluarga, memutuskan tali pernikahan. Maka dalam hal ini dapat dijadikan alasan perceraian. Dalam hal pengajuan gugatan perceraian dengan alasan zina harus ada cukup saksi untuk membuktikan perzinaan yang dilakukan oleh salah satu pihak Begitu halnya pemabuk atau pengkonsumsi minuman keras (khamer) dan penjudi dapat dijadikan alasan perceraian karena kedua perbuatan tersebut dapat membuat orang lepas kontrol sehingga dapat mempengaruhi dirinya untuk berbuat yang pada akhirnya menimbulkan permusuhan, kebencian, bahkan lupa akan Allah SWT dan kewajibannya. Dalam Al-Qur’ân surat Al-Mâidah ayat 90-91 dinyatakan :
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan syaitan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. "Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat. Maka berhentilah kamu dari mengerjakan pekerjaan itu”. (QS. Al-Maidah: 90-91)

2) Alasan cerai karena meninggalkan 2 (dua) tahun.
Salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau hal lain diluar kemampuannya, maka untuk pengajuan gugatannya, diajukan setelah lampau tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah, agar gugatannya diterima maka perlu dibuktikan bahwa tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali kerumah kediaman bersama.(lihat PP. No. 9/1975 Pasal19 huruf(h)).

3). Alasan cerai karena pidana penjara 5 (lima) tahun
Alasan perceraian karena salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau mendapat hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung, maka untuk membuktikan alasan tersebut, penggugat menyampaikan salinan atau turunan putusan pengadilan yang memutuskan perkara pidana penjara lima tahun disertai adanya keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap atau pasti (lihat UU No. 7/1989 pasal 74).
4) Melakukan kekejaman atau pengania yang berat
Undang-Undang perkawinan tidak menjelaskan lebih lanjut tentang kekejaman atau penganiayaan berat yang dapat dijadikan alasan untuk melakukan perceraian. Dalam ketentuan yang terpenting harus terdapat kata-kata membahayakan pihak lain. Tentang perbuatan bagaimana yang bersifat membahayakan pihak lain itu juga tidak dijelaskan secara lengkap. Tampaknya dalam hal ini pembuat undang-undang hendak menyerahkan penafsirannya pada para hakim
 5) Alasan cerai karena cacat badan atau penyakit
Alasan perceraian karena tergugat mendapat cacat badan atau penyakit yang berakibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami istri. Maka untuk membuktikan alasan, penggugat dapat mengajukan bukti hasil pemeriksaan dari dokter. (Lihat UU No.7/1989 pasal 75)6)
6) Alasan cerai karena terus menerus berselisih dan bertengkar
          Alasan karena suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran serta tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam membina rumah tangga, maka untuk membuktikan alasan yang diajukan itu dan menjadi jelas sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran suami isteri akan didengar pihak keluarga dan orang yang terdekat dengan suami isteri tersebut. Lebih dari masalah itu, perselisihan sampai memuncak dan dapat terjadi gugatan cerai karena alasan syiqâq.
Hingga dengan alasan itu karenanya Pengadilan Agama akan mendengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang terdekat dengan suami istri dan dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing atau bisa juga orang lain untuk menjadi hakam. Tentang suami yang melanggar taklik talak Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberikan hak kepada istri untuk mengajukan gugatan dan sebagai alasan gugatan perceraian ke pengadilan agama. Pelanggaran perjanjian perkawinan yang dapat dijadikan alasan gugatan perceraian, yaitu pelanggaran yang mengakibatkan retaknya hati dan munculnya pertengkaran terus menerus. Pelanggaran perjanjian yang berkaitan dengan taklik talak dan perjanjian pelanggaran lain yang dilaksanakan sesuai dengan hukum Islam, akan tetapi dilanggar suami atau istri. (lihat Kompilasi Hukum Islam(KHI) pasal 45 dan 41). Pada akhirnya alasan perceraian tetap mengacu pada bentuknya yang limitatif sebagaimana yang diatur dalam pasal 15 PP No. 9 tahun 1975.
7) Salah satu pihak murtad
Murtad dapat dijadikan alasan perceraian karena apabila dalam suatu rumah tidak ada kesamaan iman, maka tidak menutup kemungkinan sering terjadinya perselisihan dalam hidup berumah tangga. Oleh karena itu, apabila salah satu pihak (suami/istri) murtad maka menurut Fiqih Syafi’iyah secara otomatis perkawinan itu sudah putus atau perkawinan itu batal ( fasakh).
Dalam hal ini, dua poin terakhir yakni “suami telah melanggar taklik talak dan salah satu pihak murtad” merupakan tambahan atas alasan perceraian. Penambahan ini didasarkan atas pengalaman selama ini. Sering  PA menolak gugat perceraian atas dalil suami atau istri beralih agama (murtad). Alasan penolakan yang dilakukan hakim didasarkan pada pertimbangan bahwa UU. No.1 Tahun1974 dan PP. No.9 Tahun 1975, tidak mengatur murtad sebagai alasan cerai. Padahal ditinjau dari segi hukum Islam hal itu sangat beralasan untuk memecahkan perkawinan.




c. Bentuk-bentuk Perceraian
1) Perkara Fasakh
Perkara fasakh adalah suatu perkara perceraian yang diputus oleh hakim atas gugatan istri. alasan utamanya bukan karena percekcokan suami-istri tersebut, tetapi karena suatu hambatan, kendala tertentu yang mengakibatkan tujuan perkawinan tidak terwujud, misalnya karena: walaupun perkawinan sudah cukup lama, tetapi belum juga mendapat keturunan, mungkin karena “kesalahan” salah satu pihak mandul. Alasan perceraian itu mungkin juga karena salah satu pihak menjadi gila, impoten dan semacamnya atau karena salah satu pihak dihukum untuk waktu yang lama. Karena salah satu alasan tersebut diatas, hakim akan mengabulkan gugatan perceraian yang demikian disebut perkara fasakh termasuk dalam jenis talak ba’insughro.
2)     PerkaraTaqlîk Talâk 
          Perceraian berupa taqlik talak lazim juga disebut sebagai talak yang digantungkan. Permohonan perkara ini atas kehandak pihak istri dengan memohon agar Pengadilan Agama menetaapkan “syarat talak yang digantungkan sudah ada”, yaitu suami telah melanggar janji-janji yang diucapkan sesaat setela hijab-kabul. Sebagaimana biasanya dalam pernikahan orang-orang Islam, setelah selesai upacara ijab-kabul (“penyerahan” pengantin wanita melalui walinya dan“penerimaan” oleh pengantin pria), pengantin laki-laki yang mengucapkan janji- janji yang sehubungan dengan jaminan terhadap perkawinan. Misalnya suami berjanji tidak akan menganiaya atau berjanji tidak akan meninggalkan isteri selama dua tahun berturut-turut, dan sebagainya. Apabila salah satu dari janji tersebut dilanggar maka syarat taqlik-talak/talak yang yang digantungkan telah terpenuhi maka istri dapat memohon putusan perceraian pada pengadilan yang lazim dikenal sebagaiTaklik Talak 
3)     Perkara Syiqâq
          Arti katanya: Perpecahan, sedangkan menurut ajaran Islam sebagaimana yang disebut dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 35, yang isinya apabila terjadi perselisihan antara suami-istri, hendaknya keluarga kedua belah pihak menunjuk dan mengangkat hakam-hakam pendamai bagi suami isteri tersebut. Di Negara Indonesia ini kelanjutan maksud hakam-hakam tersebut telah terbentuk lembaga resmi yaitu Badan Penasehat Perkawinan, Perselisihan, dan Perceraian (BP 4),yang bertugas untuk mendamaikan sesuai dengan pasal pasal 31 PP No. 9 tahun1975. Dalam praktek, jasa atau nasihat BP-4 ini sering diminta oleh Hakim Peradilan Agama dalam menangani perkara perceraian. apabila BP-4 tidak berhasil mendamaikan, setelah setelah masalah itu kembali dihadapan Hakim Pengadilan Agama ini, disini hakim masih berkewajiban lagi untuk berupaya mendamaikan sesuai dengan ketentuan pasal 31 PP No.9 tahun 1975.

Apabila upaya perdamaian itu berhasil, baik yang dilakukan oleh BP-4 maupun oleh Hakim Pengadilan akan dibuat akta perdamaian, denagn konsekwensi apabila di antara kedua suami-istri itu timbul lagi percekcokan dengan alasan percekcokan dengan alasan percekcokan yeng telah berhasil didamaikan, akan ditolak atau tidak boleh lagi sebagai alasan untuk melakukan perceraian. Perceraian karena percekcokan yang terus menerus terjadi, tergolong sebagai cerai gugatan/syiqaq.
4)     Perkara Li’ân
          Asal kata la’na : kutuk, sedangkan dalam Qur’an surat 24 ayat 6 sampai dengan 9. Perceraian berdasarkan gugatan dari suami dengan alasan atau tuduhan istri melakukan perzinahan, tanpa saksi maupun bukti yang cukup disebut perkara perceraian karenali’an. Proses pemeriksaan perkara itu dari suami-istri, dilakukan dengan kewajiban masing-masing mengucapkan sumpah sebanyak 5 kali. Pelaksanaan sumpah itu, dengan mendahulukan pihak yang menuduh mengucapkan sumpah “Dengan nama Allah menyatakan istrinya telah melakukan zina”, diucapkan sebanyak 4 kali. Dan pada sumpah yang kelima, ia (suami) mengucapkan sumpah: “Apabila tidak benar, apa yang saya tuduhkan akan menerima segala kutuk dan laknat Allah”
Sebaliknya pihak istri wajib mengucapkan sumpahnya atas nama Allah sebanyak 4 kali sebagai bantahan terhadap tuduhan suaminya. Pada sumpah kelima ia mengatakan akan menerima segala kutuk dan laknat Allah, bila ia benar telah melakukan zina yang dituduhkan oleh suaminya. Proses perkara demikian disebut PerkaraLi’an.
Dapat ditambahkan bahwa sebagian ahli hukum berpendapat, bahwa pengadilan Agama tidak dapat memeriksa perkara Li’an, karena tuduhan perzinahan menyangkut pembuktian pidana dan seharusnya diperiksa oleh Pengadilan Negeri. Akan tetapi, sebagian lagi berpendapat bahwa PengadilanAgama tersebut berwenang memeriksa perkaraLi’an, karena dalam pemeriksaan. Pengadilan Agama tersebut tidak sampai pada penilaian benar tidaknya apa yang dituduhkan. Dengan kata lain tidak memeriksa unsur pidana materiilnya.
5)     Perkara khuluk 
          Khuluk  adalah perceraian yang didasarkan pada gugatan pihak istri. Apabila Hakim mengabulkannya, penggugat (istri) berkewajiban membayar iwadl, dan talaknya tergolong talak ba’in. Hal tersebut hanya boleh dilakukan pada dua keadaan yakni jika dikhawatirkan salah satu dari keduanya tidak melaksanakan ajaran-ajaran Allah yakni sesuatu yang difardhukan oleh Allah dalam pernikahan. Yang kedua, yakni sumpah untuk talak tiga kali atas satu permasalahan yang wajib baginya maka boleh mengabulkan khuluk wanita tersebut. Kemudian melaksanakan sumpah tersebut karena hanya bisa melakukan tindakan yang pertama maka diperbolehkan.


Rabu, 03 Januari 2018

KEDUDUKAN ANAK DALAM AL-QUR’AN


            Memiliki anak adalah sesuatu yang sangat diharapkan oleh sebuah pasangan suami dan istri di dunia ini. Anak bisa saja dijadikan sebagai penerus keturunan nantinya, anak juga bisa sebagai pewaris tahta dan harta kekayaan, dan anak juga bisa menjadi pelipur lara dalam kehidupan ini. Seorang anak juga bisa menjadi penyelamat orang tuanya nanti di hari akhirat bahkan ada anak yang akan memasangkan mahkota di kepala kedua orang tuanya jika di dunia ini mereka mampu menghafal al-qur’an. Akan tetapi, anak juga bisa menjadi penghalang orang tua untuk masuk surga jika anaknya mengerjakan kemaksiatan di dunia.
            Oleh sebab itu, Islam memiliki pandangan yang berbeda terhadap anak jika dilihat dari perspektif Al-Qur’an, dan al-Qur’an menempatkan beberapa posisi anak di dalam kehidupan ini;
1.      Anak sebagai perhiasan hidup (al-kahfi ayat 46)
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”.
Anak bisa menjadi sesuatu yang menyenangkan bagi orang tua, dengan prestasi yang mereka raih, juara olimpiade matematika tingkat nasional dan bahkan international, sebagai atlit terbaik di ajang bergengsi, seperti badminton maupun bidang olahraga lainnya, menjadi penyanyi yang terkenal, menuntut ilmu di Eropa maupun di Amerika, dan prestasi-prestasi lainnya. Ini semua merupakan perhiasan dunia bagi orang tua terhadap prestasi-prestasi yang dicapai oleh anaknya.
Akan tetapi sebagai orang tua tidak boleh terlena dengan keindahan dan perhiasan hidup tersebut, orang tua mempunyai kewajiban untuk menjaga kemurniannya yaitu fitrahnya. Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah, orang tuanya lah yang akan menjadikannya yahudi, nasrani atau majusi.
Betapa banyak saat ini seorang anak Beragama Islam yang berprestasi, akan tetapi karakternya jauh dari nilai-nilai keisalaman, yang lebih menyedihkan lagi betapa banyak orang tua akhir-akhir ini bangga dengan anaknya meraih prestasi duniawi namun melupakan ilmu-ilmu agama. Bangga dengan anaknya lancar berbahasa Inggris tapi tidak malu anaknya belum bisa baca Al-Qur’an, bangga dengan anaknya menghafal ratusan kosa kata bahasa mandarin, tapi tidak malu anaknya belum bisa mengahafal ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Tugas orang tua sebenarnya adalah menjaga kesucian anak tersebut, jangan sampai anak-anak kita menjadi penghuni neraka, seperti yang di gambarkan di dalam surat at-tahrim ayat 6;
Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”
Inilah tugas utama dan perhatian yang sangat penting bagi orang tua terhadap anaknya, jangan sampai menjatuhkan anaknya ke dalam api neraka akibat kelalaian orang tua yang terpukau dengan keindahan dan perhiasan dunia yang dimiliki oleh anaknya.
2.      Anak sebagai fitnah (at-taghabun ayat 5)
Anak bukan saja sebagai perhiasan hidup, akan tetapi seorang anak bisa juga menjadi finah bagi kedua orang tuanya, fitnah itu adalah ujian, baik berupa ujian kesabaran, ujian yang mendekatkan diri atau menjauhkan diri dengan Allah Swt, ujian baik atau buruknya seseorang di hadapan masyarakat.
Seorang anak menjadi ujian kesabaran bagi orang tua, setiap anak memiliki sikap yang berbeda dalam sebuah keluarga, sehingga dengan perbedaan sikap tersebut membutuhkan kesabaran yang tinggi bagi orang tua. Begitu juga dengan sikap seorang anak yang ikut dalam kenakalan remaja, tentu ini menjadi ujian kesabaran bagi orang tua.
Anak juga menjadi faktor pendukung dan penghambat bagi orang tua untuk beribadah kepada Allah Swt. Ada orang tua itu semangat beribadah kepada Allah ketika mereka mensyukuri memiliki anak tersebut dan sebaliknya tidak sedikit orang tua ketika memiliki anak justru menjauhkan mereka beribadah kepada Allah. Contohnya, dengan asyik bermain dengan anak atau mengikuti keinginan anak, orang tua lupa akan kewajibannya terhadap Allah swt, inilah anak menjadi fitnah bagi orang tua. Bahkan banyak orang tua yang masuk penjara karena korupsi hanya untuk memenuhi permintaan anak.
3.      Anak sebagai penyejuk mata (al-Furqan; 74)
Anak juga berkedudukan sebagai penyejuk hati bagi keluarga, dan inilah seorang anak yang menjadi dambaan semua orang tua. Anak sebagai penyejuk hati orang tua adalah mereka yang memiliki kualitas ibadah yang bagus dan akhlak yang mulia, bahkan anak yang shalih adalah anak yang akan ikut menyelamatkan orang tua nanti di hari akhirat, bahkan mereka memasangkan mahkota untuk orang tua nya ketika mereka mampu menghafal ayat-ayat al-Qur’an di dunia.
Ketika seorang anak mematuhi orang tuanya, sayang sama orang tuanya, dan berusaha membahagiakan kedua orang tuanya, disinilah letaknya seorang anak menjadi penyejuk hati bagi orang tuanya.

4.      Anak bisa menjadi musuh bagi orang tua (at-taghabun: 14)
Anak bisa saja menjadi musuh bagi orang tuanya, ketika orang tua salah dalam mendidik anaknya, atau bisa juga karena kesibukan mereka yang kurang memperhatikan anak-anaknya, atau bisa juga karena salah dalam mengontrol pendidikan mereka, atau juga karena salah dalam memilih tempat mereka belajar.
Akibat dari kesalahan-kesalahan tersebut, anak tega membunuh orang tuanya akibat tidak bisa memenuhi kebutuhan mereka, anak lari dari rumah karena berselisih dengan orang tua mereka, bahkan banyak anak yang jauh dari agama walaupun orang tuanya berusaha untuk mendekatkan diri anaknya kepada Allah.
Dengan melihat kedudukan seorang anak di dalam al-Qur’an di atas, yang menjadikan anak sebagai penyejuk hati, sebagai fitnah, sebagai perhiasan dunia atau sebagai musuh adalah tergantung dari orang tuanya, ketika kita ingin menjadikan anak kita menjadi anak yang baik dan shalih maka orang tuanya juga harus menjadi orang yang baik.
Memiliki anak sebagai penyejuk hati, tidak akan muncul begitu saja, akan tetapi harus ada usaha yang keras dari orang tua agar memiliki anak yang baik agama nya dan patuh kepada orang tuanya.
Islam mengajarkan untuk memiliki anak yang baik harus dibentuk dari jauh-jauh hari, pertama,  dengan memilih pasangan yang baik dan shalih. Rasulullah menganjurkan kita untuk mencari pasangan karena agamanya, bukan karena harta, nasab atau kecantikan/kegantengan. Ketika pasangan kita adalah orang yang baik agamanya, maka akan memberikan dampak yang baik bagi seorang anak.
Kedua, Dalam membentuk karakter anak yang baik dan shalih/ah bisa dengan memberikan keteladanan. Seorang anak akan melihat orang yang terdekat denganya, jika seorang ayah/ibu memiliki sikap yang tidak baik maka anak akan mengikuti yang dikerjakan oleh orang tua. Oleh sebab itu, bagi orang tua diharapkan memberikan keteladanan yang baik bagi anak-anaknya, jangan pernah berharap anak mau diperintah untuk mengerjakan shalat kalau orang tuanya tidak shalat, yang harap anak mengeluarkan kata-kata yang baik, kalau orang tuanya suka berkata yang kotor.
Cara yang ketiga adalah dengan dialog interaktif yang rutin sama anak. Bagaimana kisah Nabi Ibrahim as dengan Nabi Ismail as dalam melakukan sesuatu mereka saling berdialog, bertukar pikiran terhadap sesuatu yang akan mau di kerjakan, begitu juga sebagai orang tua, harus mampu meluangkan waktunya untuk anaknya dalam berdialog karena seorang anak membutuhkan komunikasi yang aktif dengan orang tuanya.
Ketika beredar di media sosial, ada cita-cita seorang anak ingin menjadi hp, karena hp kemana-mana di bawa oleh orang tuanya, kalau ketinggalan dijemput, kalau hilang di cari, sementara anaknya tidak diperhatikan, lebih asik menggunakan hp pada saat makan malam, pagi-pagi bangun dari tempat tidur lihat hp dan update status, sementara anaknya tidak dibangunkan untuk beribadah kepada Allah Swt.
Cara yang keempat adalah dengan melakukan pembiasaan yang baik buat anak-anak dan memberikan hukuman yang layak kepada anak-anak sesuai dengan yang dianjurkan oleh agama Islam.
Dengan memperhatikan penjelasan di atas, penulis berharap bagi orang tua yang memiliki anak, agar menjaga dengan baik, memperhatikan anaknya dengan baik dan jangan kita sia-siakan anak kita, karena mereka akan menjadi tumpuan harapan kita di saat sudah tua nanti dan tentunya juga akan menjadi penolong kita di hari akhirat ketika amal ibadah yang kita lakukan belum cukup untuk mengantarkan kita ke surga, sebaliknya jangan sampai nanti anak-anak kita menjadi penghalang kita ke surga akibat kelalaian kita dalam mendidik mereka di dunia ini, dan tentunya kita juga berharap memiliki anak yang menjadi penyejuk hati bagi kedua orang tuanya.

Gushairi, S.HI, MCL
Dosen STAI Ibnu Sina



Selasa, 02 Januari 2018

ETIKA ISLAM DALAM BIDANG KONSUMSI

ETIKA ISLAM DALAM BIDANG KONSUMSI
GUSHAIRI, S.HI, MCL
Dosen STAI IBNU SINA BATAM
Abstract
Akhir-akhir ini berbagai macam penyakit yang diderita oleh masyarakat yang jarang sekali didengar beberapa puluh tahun yang lalu. Seperti penyakit kanker darah, diabetes, kolestrol tinggi, asam urat, dan berbagai macam penyakit lainnya yang bisa membahayakan nyawa seseorang. Hal ini terjadi disebabkan pola konsumsi yang tidak baik, cara makan yang baik, dan kualitas dari makanan yang dimakan. Tulisan ini melihat bagaimana Islam sebagai agama yang sempurna, memandang etika dalam bidang konsumsi. Penelitian yang dengan metode kualitatif ini, menemukan bahwa jika seseorang mengikuti yang diajarin dalam agama Islam masalah konsumsi maka akan bisa terhindar dari berbagai macam penyakit tersebut, karena Islam disamping memperhatikan kehalalan sebuah makanan, Islam juga memperhatikan kualitas makanan tersebut (baik dan bergizi), serta pola makan yang teratur.

Kata kunci: Konsumsi, Etika, Halal, Baik, dan Islam
Pendahuluan
Menderita sebuah penyakit adalah sesuatu yang ditakuti oleh banyak orang, akan tetapi sesuatu yang harus dijalani. Bagi orang yang beriman, menderita sebuah penyakit bisa saja merupakan sebuah ujian yang diberikan oleh Allah Swt. Namun, menjaga kesehatan adalah sebuah kewajiban di dalam Islam, karena di waktu sehatlah, seseorang bisa memperbanyak ibadah kepada Allah dan berbuat baik dengan sesama.
            Nabi Muhammad Saw menjelaskan untuk memanfaatkan waktu yang sehat sebelum datang waktu sakit.
Dalam sabdanya: “manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara, yakni waktu muda sebelum datang waktu tua, waktu sehat sebelum datang waktu sakit, masa kaya sebelum datang masa fakir, waktu luang sebelum datang  waktu sempit/sibuk, dan waktu hidup sebelum datang waktu mati”.
            Akhir-akhir ini, berbagai macam penyakit yang diderita oleh manusia, seperti penyakit diabetes, kolestrol, asam urat, darah tinggi, usus buntu, maag dan berbagai macam penyakit lainnya yang bisa berujung kepada kematian, atau tidak produktif lagi akibat dari penyakit yang di derita.
Penyakit diabetes merupakan penyakit yang ditandai dengan kadar gula darah yang jauh di atas normal. Pada tahun 2013, Indonesia termasuk dalam 10 negara terbesar penderita diabetes yang mencapai 8,5 juta orang. Penyakit kolestrol juga menjadi momok bagi masyarakat, ketika kolestrol naik, maka akan mengakibatkan seseorang pusing dan bisa berimbas kepada sakit jantung, stroke, maupun penyempitan pembuluh darah.
Menurut para dokter, penyakit-penyakit ini berasal dari gaya hidup dan perilaku, seperti kurang memperhatikan berat badan yang berlebih, lingkar perut terlalu besar, sementara itu aktifitas fisik kurang, pengaturan porsi makan, kadang-kadang berlebihan dan terlalu sedikit atau menunda-menunda untuk makan, adanya asupan makan yang banyak mengandung lemak dan gaya hidup yang cenderung tidak teratur dan seimbang.
Sehingga sangat menarik diteliti bagaimana Islam memandang etika dalam konsumsi supaya terhindar dari berbagai macam penyakit yang berujung kepada hidup yang sia-sia dan tidak produktif lagi, bahkan berujung kepada kematian.
Pengertian Konsumsi
Konsumsi, berasal dari bahasa Belanda consumptie, ialah suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa, untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.[1]
Yusuf Qardhawi mendefenisikan konsumsi adalah salah satu kegiatan utama dalam ekonomi. Konsumsi di dalam Islam tidak bisa lepas dari etika umum tentang norma dan akhlaq dalam ekonomi Islam.[2]
Pelaku konsumsi atau orang yang menggunakan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhannya disebut konsumen. Perilaku konsumen adalah kecenderungan konsumen dalam melakukan konsumsi, untuk memaksimalkan kepuasannya. Dengan kata lain, perilaku konsumen adalah tingkah laku dari konsumen, dimana mereka dapat mengilustrasikan pencarian untuk membeli, menggunakan, mengevaluasi dan memperbaiki suatu produk dan jasa mereka.  Perilaku konsumen (consumer behavior) mempelajari bagaimana manusia memilih di antara berbagai pilihan yang dihadapinya dengan memanfaatkan sumber daya (resources) yang dimilikinya.[3]
Pandangan Islam dalam konsumsi
Setiap hari selama hidup, manusia selalu melakukan kegiatan makan dan minum, karena dengan makan dan minum akan memberikan tenaga dan kekuatan yang diperlukan untuk mempertahankan kehidupan. Mengkonsumsi makanan dan minuman sesungguhnya bukan hanya persoalan memindahkan makanan dari piring ke dalam perut, makan dan minum, apabila dilakukan dengan benar, juga merupakan ibadah, tanda syukur kepada Allah swt, dan tentunya untuk menjaga kesehatan dengan baik.
Islam adalah agama yang ajarannya mengatur segenap perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian pula dalam masalah konsumsi, Islam mengatur bagaimana manusia dapat melakukan kegiatan-kegiatan konsumsi yang membawa manusia berguna bagi kemaslahatan hidupnya. Seluruh aturan Islam mengenai aktivitas konsumsi terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Perilaku konsumsi yang sesuai dengan ketentuan al-Qur’an dan as-Sunnah ini akan membawa pelakunya mencapai keberkahan dan kesejahteraan hidupnya.
Syari’at Islam menginginkan manusia mencapai dan memelihara kesejahteraannya. Imam Shatibi menggunakan istilah ‚mas}lahah‛, yang maknanya lebih luas dari sekedar utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Mas}lahah merupakan sifat atau kemampuan barang 32 dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan-tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini.[4]
Islam telah memberikan petunjuk berupa arahan-arahan positif dalam menkonsumsi makanan dalam kehidupan sehari-hari:
Pertama, seorang muslim harus memperhatikan kehalalan makanan.  Makanan yang baik yang dibolehkan memakannya menurut ajaran Islam , yaitu sesuai dalam AlQur’an dan Al- hadits.[5] Hal ini dijelaskan oleh Rasulullah Saw dalam sebuah hadisnya,
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى  الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعىَ حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ، أَلاَ وَإِنَّ  لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ   مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ  أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ
[رواه البخاري ومسلم]
Artinya: “Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir radhiallahuanhu dia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya disekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh; ketahuilah bahwa dia adalah hati “.(Riwayat Bukhori dan Muslim)[6]
Hadits di atas menjelaskan bahwa yang haram itu telah jelas dan yang haram juga telah jelas. Dalam konsumsi, seorang muslim harus memperhatikan kebaikan (kehalalan) sesuatu yang akan di konsumsinya.
Para fuqaha' menjadikan memakan hal-hal yang baik ke dalam empat tingkatan. Pertama, wajib, yaitu mengkonsumsi sesuatu yang dapat menghindarkan diri dari kebinasaan dan tidak mengkonsusmsi kadar ini padahal mampu yang berdampak pada dosa. Kedua, sunnah, yaitu mengkonsusmsi yang lebih dari kadar yang menghindarkan diri dari kebinasaan dan menjadikan seoarang muslim mampu shalat dengan berdiri dan mudah berpuasa. Ketiga, mubah, yaitu sesuatu yang lebih dari yang sunnah sampai batas kenyang. Keempat, konsusmsi yang melebihi batas kenyang, yang dalam hal ini terdapat dua pendapat, ada yang mengatakan makruh yang satunya mengatakan haram.[7]
Dasar hukum Al- Qur’an tentang makanan halal diantaranya yaitu :
وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ
Artinya: ”dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rizkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kammu beriman kepadaNya”. QS. Al- Mai’dah 88)[8]


Juga dalam surat An- Nahl ayat 114
فَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا وَاشْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
Artinya : “Makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepadan-Nya menyembah”. (QS. An-Nahl).[9]
 Ayat-ayat diatas bukan saja menyatakan bahwa mengkonsumsi yang halal hukumnya wajib karena merupakan perintah agama, tetapi menunjukkan juga hal tersebut merupakan salah bentuk perwujudan dari rasa syukur dan keimanan kepada Allah. Sebaliknya, mengkonsumsi yang tidak halal dipandang sebagai mengikuti ajaran syaitan.
Dari beberapa ketentuan di atas, terlihat bahwa Kepedulian Allah Swt sangat besar terhadap soal makanan dan aktifitas makan untuk makhluknya. Hal ini tercermin dari firmannya dalam al Qur’an mengenai kata tha’am yang berarti ”makanan” yang terulang sebanyak 48 kali dalam berbagai bentuknya. Ditambah pula dengan kata akala yang berarti ”makan”sebagai kata kerja yang tertulis sebanyak 109 kali dalam berbagai derivasinya, termasuk perintah ”makanlah” sebanyak 27 kali. Sedangkan kegiatan yang berhubungan dengan makan yaitu ”minum” yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut syariba terulang sebanyak 39 kali.[10]
Kedua, seorang muslim harus peka terhadap sesuatu yang dilarang oleh Islam. Islam tidak hanya mengatur perkara halal saja, tetapi juga menyebutkan beberapa jenis makanan yang diharamkan, seperti menghindari konsumsi minum khamr dan makan daging babi. Sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Al-Maidah ayat 3,
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ

Artinya: "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai darah daging babi .... (Q.S. al-Maidah/5: 3)

Sebenarnya Dalam Al Qur’an makanan yang di haramkan pada pokoknya hanya ada empat yaitu dalam surat Al-Baqarah ayat 173.
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ ۖ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Akan tetapi, barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya, tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqoroh {2} : 173).[11]
Dalam ayat ini telah dijelaskan bahwa makanan yang diharamkan diantaranya :
1.      bangkai, yang termasuk kategori bangkai adalah hewan yang mati dengan tidak disembelih ; termasuk didalamnya hewan yang mati tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk dan diterkam oleh hewan buas, kecuali yang sempat kita menyembelihnya, hanya bangkai ikan dan belalang saja yang boleh kita makan.
2.      Darah, sering pula diistilahkan dengan darah yang mengalir, maksudnya adalah darah yang keluar pada waktu penyembelihan (mengalir) sedangkan darah yang tersisa setelah penyembelihan yang ada pada daging setelah dibersihkan dibolehkan. Dua macam darah yang dibolehkan yaitu jantung dan limpa.
3.      Babi, apapun yang berasal dari babi hukumnya haram baik darahnya, dagingnya, maupun tulangnya.
4.      Binatang yang ketika disembelih menyebut selain nama Allah
Perkara halal dan haram harus menjadi perhatian khusus bagi orang Islam ketika menkonsumsi makanan, dan jangan sampai seorang muslim langsung makan saja tanpa melihat kehalalan dari makan tersebut, penduduk Indonesia mesti bersukur dengan adanya lembaga yang berhak mengeluarkan kehalalan sebuah produk makanan, namun tidak tertutup kemungkinan masih banyak yang belum bisa mendapatkannya karena produksi makanananya bukan terbuat dari yang halal.
Ketiga, pembatasan dalam hal kuantitas atau ukuran konsumsi. Makanan yang baik yaitu segala makanan yang dapat membawa kesehatan bagi tubuh, dapat menimbulkan nafsu makan dan tidak ada larangan dalam Al Qur’an maupun hadits.[12]
Berbagai macam penyakit yang diderita mayoritas manusia saat ini disebabkan dengan ukuran pola konsumsi dan ukuran kualitas dari yang dimakan tersebut. Dalam hal ini, Islam sangat melarang umatnya untuk berlaku kikir yakni terlalu menahan-nahan harta, sehingga kualitas makanan yang dimakan sangat rendah, dan di sisi lain, Allah juga melarang umatnya membelanjakan harta mereka secara berlebih-lebihan di luar kewajaran.
Di dalam QS. Al- Furqan ayat 67 Allah mengatakan:
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا
Artinya: Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.[13]
Realita di lapangan pada saat sekarang ini, betapa banyak manusia yang menahan-nahan hartanya karena takut habis padahal dia sangat membutuhkannya, dan sebagian besar lainnya terlalu menghambur-hamburkan uangnya kepada sesuatu yang tidak penting dan bahkan dia tidak membutuhkannya sama sekali.
Oleh sebab itu, Islam mengarahkan umatnya untuk memiliki perilaku konsumsi yang baik, pertama, tidak berlebihan. Umat Islam harus bisa menahan hawa nafsunya ketika menginginkan sesuatu yang belum dibutuhkannya. Di dalam QS al-A’raf ayat 31 menjelaskan bahwa,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا
Artinya: “Makan dan minumlah kalian, namun jangan berlebih-lebihan (boros) karena Allah tidak mencintai orang-orang yang berlebih-lebihan”.[14]
Sebagai contoh, banyak orang yang makan di malam hari yang padahal sebenarnya mereka tidak terlalu lapar kalau tidak makan, yang pada akhirnya makanannya terbuang begitu saja, atau juga dalam waktu berbuka puasa, betapa banyak makanan yang dihadangkan akan tetapi ketika waktu berbuka datang, banyak makanan yang berlebih atau bahkan banyak yang sakit dalam kekenyangan.
Kedua, memilih makanan yang berkualitas. Memilih makanan yang berkualitas tentu juga akan menentukan kesehatan seseorang, makanan yang penuh dengan gizi alami, akan memberikan kontribusi dalam mengurangi proporsi kolesterol, seperti madu dan susu, dan tentunya yang tidak membahayakan badan, seperti terlalu banyak konsumsi gorengan, makanan yang berpengawet, dan berbagai jenis makanan lainnya yang kurang berkualitas.
Penutup
            Islam adalah sebagai agama yang mengatur segala sendi kehidupan manusia secara sempurna, tidak luput juga bagaimana etika seorang makhluk dalam menkomsumi sebuah makanan atau minuman. Islam telah jauh-jauh hari mengingatkan dan memberikan solusi yang terbaik dalam hal etika konsumsi, yang bisa menghindari atau mencegah penyakit yang akhir-akhir ini memberikan ketakutan yang luar biasa.
            Berbagai macam penyakit seperti penyakit kanker, diabetes, kolestrol tinggi, asam urat, liver dan penyakit lainnya, menurut ilmu kedokteran disebabkan karena pola konsumsi yang tidak baik dan tidak teratur.
            Islam telah menjelaskan bahwa manusia harus memperhatikan kehalalan suatu produk yang mereka konsumsi karena di situ ada kebaikan dan wujud rasa syukur kepada Tuhan sang pemilik alam ini. Tidak hanya dari segi kehalalannnya, akan tetapi dari segi baik atau tidaknya makanan tersebut juga sudah diingatkan dalam Islam. Islam juga telah mengatur tata cara pola konsumsi yang baik dengan tidak berlebihan, tidak mubazir dan memperhatikan kualitas dari makanan yang dimakan tersebut.
            Pada akhirnya, ketika memperhatikan etika konsumsi dalam Islam tersebut, akan terhindar dari berbagai macam penyakit yang menggerogoti manusia pada saat ini, disamping merupakan suatu ketaqwaan kepada Allah swt dengan memperhatikan halal atau haramnya suatu makanan yang dikonsumsi tersebut.
           


Daftar Pustaka
Abdul Aziz. 2008. Ekonomi Islam Analisis Mikro dan Makro. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Adiwarman A. Karim. 2014. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta:Rajawali Pers.
AlFitri, “Budaya Konsumerisme Masyarakat Perkotaan” dalam Majalah Empirika, Vol. XI. No. 01, ( 2007).
Kementerian Agama, Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahnya. Bandung: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2010.
Mustaq Ahmad. 2003. Etika Bisnis Dalam Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Muh. Said. 2008. Pengantar Ekonomi Islam Pekanbaru: Suska Press.
Mawardi. 2007. Ekonomi Islam. Pekanbaru: Alaf Riau.
Mannan. 2005 yang ditulis oleh Muhammad”Ekonomi Mikro Islam”
Suherman Rosyidi. 2000. Pengantar Teori Ekonomi (Pendekatan Kepada Teori Ekonomi Mikro & Makro). Jakarta : PT Raja Grafindo Perasada.
http://konsultanekonomi.blogspot.com/2012/05/etika-konsumsi-dalam-perspektif-syariah.html





[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Konsumsi
[2] Yusuf Qardhawi. 2001. Norma dan Etika Ekonomi Islam. Penterjemah: Zainal Arifin, Lc,dkk (Jakarta: Gema Insani Press). hal. 50
[3] Anto, Hendrie. Pengantar Ekonomi Mikro Islam,Yogyakarta: Ekonosia, 2003
[4] Afzalur al Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), 17.
[5] Bagian proyek sarana dan prasarana produk halal direktorat Jenderal bimbingan masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Petunjuk teknis pedoman sistem produksi halal, Departemen Agana RI, Jakarta, 2003. hlm. 3.
[6] Muhyiddin Yahya bin syarafa nawasi, Hadis arbai’in, terjemahan oleh Abdullah haidhir,
[7] Al-Haritsi, Jaribah bin Ahmad, Al-Fiqh AI-Iqtishadi Li Amiril mukminin Umar Ibn Al-Khaththab, diterjemahkan oleh Asmuni Solihan Zamakhsyari (Jakarta: Khalifa, 2006), 140
[8] Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, op.cit.
[9] ibid
[10] Tiench Tirta winata, Makanan Dalam Perspektif Al Qur’an Dan Ilmu Gizi” Jakarta, Balai Penerbit FKUI, 2006, hlm.1
[11] Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, op.cit.

[12] Hussein Bahresy, Pedoman Fiqh Islam, Surabaya, Al-Ikhlas, 1981, hlm. 303.
[13] QS. AL-Furqan: 67
[14] QS. Al-A’raf: 31