Oleh:
Gushairi, S.HI, MCL
Cakim
Pengadilan Agama
a. Pengertian Perceraian
Didalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak diatur mengenai pengertian perceraian
tetapi hal-hal mengenai perceraian telah diatur dalam pasal 113 sampai dengan
pasal 148 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dengan melihat isi pasal-pasal tersebut
dapat diketahui bahwa prosedur bercerai tidak mudah, karena harus memiliki
alasan-alasan yang kuat dan alasan-alasan tersebut harus benar-benar menurut
hukum. Hal ini ditegaskan dalam pasal 115 Kompilasi Hukum Islam(KHI) yang
isinya sebagai berikut :
"Perceraian
hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang
tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak."
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 115 seperti
yang termaktub diatas maka yang dimaksud dengan perceraian perspektif Kompilasi
Hukum Islam (KHI) adalah proses pengucapan ikrar talak yang harus dilakukan didepan
persidangan dan disaksikan oleh para hakim Pengadilan Agama.
Apabila pengucapan ikrar talak itu dilakukan diluar
persidangan, maka talak tersebut merupakan talak liar yang dianggap tidak sah
dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
b. Alasan-Alasan Perceraian
Untuk dapat mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan
Agama harus disertai dengan alasan-alasan yang cukup, sesuai dengan
alasan-alasan yang telah ditetapkan dalam undang-undang perkawinan. Adapun
hal-hal yang dapat dipakai sebagai alasan untuk mengajukan gugatan perceraian
ini diatur dalam pasal 116 ayat a s/d h dan dipertegas lagi dalam pasal 19 PP
No.9 tahun 1975, yang pada dasarnya sebagai berikut:
1)
Tentang
alasan zina, pemabuk dan penjudi Permohonan cerai atau gugatan cerai yang
diajukan para pihak kepada Pengadilan Agama, memiliki berbagai masalah sesuai
besar kecilnya atau ada tidaknya alasan perceraian salah satunya alasan yang
dikemukakan adalah perceraian karena alasan zina.
Perzinaan disini adalah zina dalam pengertian hukum islam
yan spesifik dan mempunyai ciri khusus. Membuktikan perzinaan bukan persolan
yang mudah, terlebih dahulu pihak yang dituduh berzina itu membantahnya dengan
cara yang sama dan meneguhkannya. Zina merupakansalah satu faktor yang mengakibatkan rusaknya rumah tangga, menghilangkan harkat keluarga, memutuskan tali pernikahan. Maka dalam hal ini dapat
dijadikan alasan perceraian. Dalam hal pengajuan gugatan perceraian dengan alasan
zina harus ada cukup saksi untuk membuktikan perzinaan yang dilakukan oleh
salah satu pihak Begitu halnya pemabuk atau pengkonsumsi minuman keras
(khamer) dan penjudi dapat dijadikan alasan perceraian karena kedua perbuatan tersebut dapat membuat orang lepas kontrol sehingga dapat mempengaruhi dirinya
untuk berbuat yang pada akhirnya menimbulkan permusuhan, kebencian, bahkan lupa akan Allah SWT dan kewajibannya. Dalam Al-Qur’ân surat Al-Mâidah ayat 90-91 dinyatakan :
Artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, berjudi, berkorban untuk
berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan syaitan, maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. "Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan
permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi
itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat. Maka berhentilah
kamu dari mengerjakan pekerjaan itu”. (QS. Al-Maidah: 90-91)
2) Alasan cerai karena meninggalkan 2 (dua) tahun.
Salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain
selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak
lain dan tanpa alasan yang sah atau hal lain diluar kemampuannya,
maka untuk pengajuan gugatannya, diajukan setelah lampau tahun
terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah, agar gugatannya diterima maka perlu
dibuktikan bahwa tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi
kembali kerumah kediaman bersama.(lihat PP. No. 9/1975 Pasal19 huruf(h)).
3). Alasan
cerai karena pidana penjara 5 (lima) tahun
Alasan perceraian karena salah satu pihak
mendapat hukuman penjara lima tahun atau mendapat hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung, maka untuk membuktikan alasan tersebut,
penggugat menyampaikan salinan atau turunan putusan pengadilan yang memutuskan
perkara pidana penjara lima tahun disertai adanya keterangan yang menyatakan
bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap atau pasti (lihat
UU No. 7/1989 pasal 74).
4) Melakukan
kekejaman atau pengania yang berat
Undang-Undang perkawinan tidak menjelaskan
lebih lanjut tentang kekejaman atau penganiayaan berat yang dapat
dijadikan alasan untuk
melakukan perceraian. Dalam ketentuan yang terpenting harus terdapat kata-kata membahayakan
pihak lain. Tentang perbuatan bagaimana yang bersifat membahayakan
pihak lain itu juga tidak dijelaskan secara lengkap. Tampaknya dalam hal
ini pembuat undang-undang hendak menyerahkan penafsirannya pada para hakim
5) Alasan
cerai karena cacat badan atau penyakit
Alasan perceraian karena tergugat mendapat
cacat badan atau penyakit yang berakibat tidak dapat menjalankan
kewajiban sebagai suami istri. Maka untuk membuktikan alasan, penggugat dapat
mengajukan bukti hasil pemeriksaan dari dokter. (Lihat UU No.7/1989 pasal 75)6)
6) Alasan
cerai karena terus menerus berselisih dan bertengkar
Alasan karena suami dan isteri terus menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran serta tidak ada harapan akan hidup rukun lagi
dalam membina rumah tangga, maka untuk membuktikan alasan yang diajukan itu dan
menjadi jelas sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran suami isteri akan
didengar pihak keluarga dan orang yang terdekat dengan suami isteri tersebut. Lebih dari
masalah itu, perselisihan sampai memuncak dan dapat terjadi gugatan
cerai karena alasan syiqâq.
Hingga dengan alasan itu karenanya Pengadilan
Agama akan mendengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga
atau orang-orang yang terdekat dengan suami istri dan dapat mengangkat seorang
atau lebih dari keluarga masing-masing atau bisa juga orang lain untuk menjadi
hakam. Tentang suami yang melanggar taklik talak Pelanggaran
atas perjanjian perkawinan memberikan hak kepada istri untuk
mengajukan gugatan dan sebagai alasan gugatan perceraian ke pengadilan agama.
Pelanggaran perjanjian perkawinan yang dapat dijadikan alasan
gugatan perceraian, yaitu pelanggaran yang mengakibatkan retaknya hati dan munculnya
pertengkaran terus menerus. Pelanggaran perjanjian yang berkaitan dengan taklik
talak dan perjanjian pelanggaran lain yang dilaksanakan sesuai dengan hukum
Islam, akan tetapi dilanggar suami atau istri.
(lihat Kompilasi Hukum Islam(KHI) pasal 45 dan 41). Pada akhirnya alasan perceraian
tetap mengacu
pada bentuknya yang limitatif sebagaimana yang diatur dalam pasal 15 PP No. 9 tahun 1975.
7) Salah satu
pihak murtad
Murtad dapat dijadikan alasan perceraian
karena apabila dalam suatu rumah tidak ada kesamaan iman, maka tidak
menutup kemungkinan sering terjadinya perselisihan dalam hidup berumah
tangga. Oleh karena itu, apabila salah satu pihak (suami/istri) murtad maka
menurut Fiqih Syafi’iyah secara otomatis perkawinan itu sudah putus atau
perkawinan itu batal ( fasakh).
Dalam hal ini, dua poin terakhir yakni “suami
telah melanggar taklik talak dan salah satu pihak murtad” merupakan
tambahan atas alasan perceraian. Penambahan ini didasarkan atas pengalaman
selama ini. Sering PA menolak
gugat perceraian atas dalil suami atau istri beralih agama (murtad). Alasan penolakan yang
dilakukan hakim didasarkan pada pertimbangan bahwa UU. No.1 Tahun1974 dan PP.
No.9 Tahun 1975, tidak mengatur murtad sebagai alasan cerai. Padahal
ditinjau dari segi hukum Islam hal itu sangat beralasan untuk memecahkan perkawinan.
c.
Bentuk-bentuk Perceraian
1) Perkara Fasakh
Perkara fasakh adalah
suatu perkara perceraian yang diputus oleh hakim atas
gugatan istri. alasan utamanya bukan karena percekcokan suami-istri
tersebut, tetapi karena suatu hambatan, kendala tertentu
yang mengakibatkan tujuan perkawinan tidak terwujud, misalnya
karena: walaupun perkawinan sudah cukup lama,
tetapi belum juga mendapat keturunan, mungkin karena “kesalahan” salah satu pihak
mandul. Alasan perceraian itu mungkin juga karena salah satu pihak menjadi
gila, impoten dan semacamnya atau karena salah satu pihak dihukum untuk waktu
yang lama. Karena salah satu alasan tersebut diatas,
hakim akan mengabulkan gugatan perceraian yang demikian disebut perkara
fasakh termasuk dalam jenis talak ba’insughro.
2)
PerkaraTaqlîk
Talâk
Perceraian berupa taqlik talak lazim juga
disebut sebagai talak yang digantungkan. Permohonan perkara ini atas
kehandak pihak istri dengan memohon agar Pengadilan Agama menetaapkan “syarat
talak yang digantungkan sudah ada”, yaitu suami telah melanggar janji-janji
yang diucapkan sesaat setela hijab-kabul. Sebagaimana biasanya dalam
pernikahan orang-orang Islam, setelah selesai upacara ijab-kabul (“penyerahan”
pengantin wanita melalui walinya dan“penerimaan” oleh pengantin pria),
pengantin laki-laki yang mengucapkan
janji- janji yang sehubungan dengan jaminan terhadap perkawinan. Misalnya
suami berjanji tidak akan menganiaya atau berjanji tidak akan meninggalkan
isteri selama dua tahun berturut-turut, dan sebagainya. Apabila salah satu dari
janji tersebut dilanggar maka syarat taqlik-talak/talak yang yang digantungkan
telah terpenuhi maka istri dapat memohon putusan perceraian pada
pengadilan yang lazim dikenal sebagaiTaklik Talak
3)
Perkara Syiqâq
Arti katanya: Perpecahan, sedangkan menurut
ajaran Islam sebagaimana yang disebut dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’
ayat 35, yang isinya apabila terjadi perselisihan antara suami-istri, hendaknya keluarga kedua belah pihak menunjuk dan mengangkat hakam-hakam
pendamai bagi suami isteri tersebut. Di Negara Indonesia
ini kelanjutan maksud hakam-hakam tersebut telah terbentuk lembaga resmi
yaitu Badan Penasehat Perkawinan, Perselisihan, dan Perceraian (BP 4),yang
bertugas untuk mendamaikan sesuai dengan pasal pasal 31 PP No. 9 tahun1975. Dalam
praktek, jasa atau nasihat BP-4 ini sering diminta oleh Hakim Peradilan
Agama dalam menangani perkara perceraian. apabila BP-4
tidak berhasil mendamaikan, setelah setelah masalah itu kembali dihadapan Hakim Pengadilan
Agama ini, disini hakim masih berkewajiban lagi untuk berupaya mendamaikan
sesuai dengan ketentuan pasal 31 PP No.9 tahun 1975.
Apabila upaya perdamaian itu berhasil, baik
yang dilakukan oleh BP-4 maupun oleh Hakim Pengadilan akan dibuat akta
perdamaian, denagn konsekwensi apabila di antara kedua suami-istri itu timbul
lagi percekcokan dengan alasan percekcokan dengan alasan percekcokan yeng telah
berhasil didamaikan, akan ditolak atau tidak boleh lagi sebagai alasan untuk
melakukan perceraian. Perceraian karena percekcokan yang terus menerus terjadi,
tergolong sebagai cerai gugatan/syiqaq.
4)
Perkara Li’ân
Asal kata la’na :
kutuk, sedangkan dalam Qur’an surat 24 ayat 6 sampai dengan 9.
Perceraian berdasarkan gugatan dari suami dengan alasan atau tuduhan istri
melakukan perzinahan, tanpa saksi maupun bukti yang cukup disebut
perkara perceraian karenali’an. Proses pemeriksaan perkara itu dari
suami-istri, dilakukan dengan kewajiban masing-masing mengucapkan sumpah
sebanyak 5 kali. Pelaksanaan sumpah itu,
dengan mendahulukan pihak yang menuduh mengucapkan sumpah “Dengan nama
Allah menyatakan istrinya telah melakukan zina”, diucapkan sebanyak 4 kali. Dan
pada sumpah yang kelima, ia (suami) mengucapkan sumpah: “Apabila
tidak benar, apa yang saya tuduhkan akan menerima segala kutuk dan laknat
Allah”
Sebaliknya pihak istri wajib mengucapkan
sumpahnya atas nama Allah sebanyak 4 kali sebagai bantahan terhadap tuduhan
suaminya. Pada sumpah kelima ia mengatakan akan menerima segala kutuk dan
laknat Allah, bila ia benar telah melakukan zina yang dituduhkan oleh
suaminya. Proses perkara demikian disebut PerkaraLi’an.
Dapat ditambahkan bahwa sebagian ahli hukum
berpendapat,
bahwa pengadilan Agama tidak dapat memeriksa perkara Li’an, karena tuduhan perzinahan menyangkut pembuktian pidana dan seharusnya diperiksa oleh
Pengadilan Negeri. Akan tetapi, sebagian lagi berpendapat bahwa PengadilanAgama
tersebut berwenang memeriksa perkaraLi’an, karena dalam pemeriksaan. Pengadilan
Agama tersebut tidak sampai pada penilaian benar tidaknya apa yang
dituduhkan. Dengan kata lain tidak memeriksa unsur pidana materiilnya.
5) Perkara khuluk
Khuluk adalah
perceraian yang didasarkan pada gugatan pihak istri. Apabila
Hakim mengabulkannya, penggugat (istri) berkewajiban membayar iwadl, dan
talaknya tergolong talak ba’in. Hal
tersebut hanya boleh dilakukan pada dua keadaan yakni jika dikhawatirkan
salah satu dari keduanya tidak melaksanakan ajaran-ajaran Allah yakni
sesuatu yang difardhukan oleh Allah dalam pernikahan. Yang kedua, yakni sumpah
untuk talak tiga kali atas satu permasalahan yang wajib baginya
maka boleh mengabulkan khuluk wanita tersebut. Kemudian melaksanakan sumpah tersebut
karena hanya bisa melakukan tindakan yang pertama maka diperbolehkan.